Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran dalam kurikulum merdeka. Mata pelajaran sejarah memiliki stigma yang membosankan karena harus bertumpu pada hafalan. Selain itu juga model pembelajaran yang diterapkan pada mata pelajaran sejarah biasanya adalah ceramah karena dianggap lebih efektif terutama pada peristiwa-peristiwa yang mungkin masih asing bagi peserta didik. Media pembelajaran sejarah sebenarnya juga beragam hanya saja guru tidak menerapkan media yang bervariasi sehingga peserta didik mengalami kejenuhan dalam pembelajaran dan merasa monoton dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran yang masih terpusat pada guru juga sering dilakukan sehingga peserta didik tidak berkembang untuk aktif dalam pembelajaran.
Pelajaran sejarah tidak hanya sebagai pelajaran yang menghafalkan materi saja tetapi harusnya bisa menjadi pelajaran yang memiliki nilai-nilai yang bisa diambil dan diterapkan oleh peserta didik. Tetapi karena kurangnya motivasi dan minat dalam belajar sejarah menyebabkan peserta didik kurang memahami pelajaran sejarah dan hanya menganggap sebagai pelajaran yang penuh dengan hafalan nama dan tahun kejadian. Padahal yang penting dalam pembelajaran sejarah adalah pola berfikir historis yang nantinya akan memberikan pengetahuan tetntang peristiwa masa lalu yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran atau acuan mengenai masa kini dan masa yang akan datang.
Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi yang penulis lakukan dengan beberapa siswa diperoleh informasi bahwa peserta didik bosan mengikuti pembelajaran yang banyak dilakukan guru dengan menggunakan metode ceramah selain ceramah, metode yang selalu dilakukan guru adalah penugasan. Sebagian peserta didik mengaku jenuh dengan tugas-tugas yang hanya bersifat teoritis dan hanya menyalin dari buku teks.
Menurut Eggen & Kauchack dalam Warsita B (2008) bahwa pembelajaran yang efektif dapat dilihat dari aktivitas peserta didik dalam mengkaji materi pembelajaran dan guru menggunakan teknik pembelajaran yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, peserta didik harus dibiasakan untuk melakukan pembelajaran secara student center supaya mereka bisa aktif dalam pembelajaran dan akan lebih dipahami karena kegiatan pembelajaran dapat menjadi pengalaman mereka dalam berfikir. Menurut Sri Anitah (2009), model Problem Based Learning, merupakan model pembelajaran yang kolaboratif untuk memecahkan masalah. Sehingga peserta didik belajar mandiri dan belajar mengatur diri sendiri dan dalam belajar kolaboratif, tiap peserta didik harus berpartisipasi aktif sesuai dengan pembagian tugas masing-masing. Salah satu model pembelajaran yang disarankan dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah model Problem Based Learning yang menuntun peserta didik untuk mengamati (membaca) permasalahan, menuliskan penyelesaian dan mempresentasikan hasilnya di depan kelas, model pembelajaran yang mengedepankan strategi pembelajaran dengan menggunakan masalah dari dunia nyata sebagai konteks siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep esensial dari materi yang dipelajarinya. Dalam Problem Based Learning siswa dituntut untuk mampu memecahkan permasalahan nyata dalam kehidupan sehari- hari (kontekstual). Dengan kata lain, Problem Based Learning membelajarkan siswa untuk berpikir secara kritis dan analitis, serta mencari dan menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Media yang mengutamakan keaktifan peserta didik juga perlu diterapkan seperti TTS (Teka-Teki Silang). TTS merupakan sebuah permainan sederhana yang menarik bagi peserta didik dan mendorong keaktifan peserta didik dalam menyelesaikan media edukasi tersebut. Dalam hal ini, TTS dikombinasikan dengan model Problem Based Learning. Media TTS ini menjadi sarana memecahkan masalah secara sederhana yang kemudian bisa di kembangkan menjadi kata kunci untuk dianalisis peserta didik.
Sintak yang dilakukan dalam penerapan model Problem Based Learning dengan media TTS dalam materi hasil kebudayaan masa praaksara yaitu dengan memberikan pertanyaan pemantik terlebih dahulu kepada peserta didik supaya memiliki gambaran awal dan dikaitkan dengan pembahasan materi yang akan dipelajari. Kemudian guru membagi siswa menjadi kelompok kecil untuk berdiskusi memecahkan permasalahan yang diberikan. Masalah disajikan dengan TTS yang harus diselesaikan secara berkelompok untuk menemukan kata kunci yang perlu peserta didik analisis. Guru perlu memberikan bimbingan dalam kegiatan diskusi. Setelah siswa menyelesaikan TTS dan menganalisisnya yang kemudian disampaikan melalui PPT, peserta didik perlu mempresentasikannya yang dilanjutkan dengan adanya tanggapan dari kelompok lain. Guru perlu memberikan penguatan materi dan melakukan tes evaluasi untuk mengetahui hasil pembelajaran yang dilakukan.
Setelah melaksanakan pembelajaran sejarah pada materi hasil kebudayaan masyarakat masa praaksara dengan model Problem Based Learning dengan media TTS, penulis menemukan bahwa motivasi dan minat peserta didik meningkat. Lebih bagus dibandingkan pembelajaran sebelumnya. model Problem Based Learning dengan media TTS ini diterapkan pada kelas X.1 SMA Negeri 1 Prembun Tahun Pelajaran 2022/ 2023 ternyata motivasi dan minat belajar siswa sama baiknya.
Sakinah, S.Pd
Guru Sejarah SMA Negeri 1 Prembun